Jumat, 31 Maret 2017

Sabu Punya Cerita

Judul
:
Sabu Punya Cerita, Injil di Rai Due Nga Donahu 100 Tahun Lalu
Editor
:
Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Penerbit
:
Satya Wacana University Press
Tahun Cetak
:
2014
Halaman
:
342
ISBN
:
978-979-8154-97-3
Harga
:
Rp. 100.000
Status
:
Kosong


Perayaan Natal pertama di Sabu kami adakan 25 Desember 1873. Itu menjadi hari yang penuh sukacita dan kejutan. Orang-orang kafir sendiri juga mengakui hal itu. Momen itu sekaligus menjadi undang bagi mereka untuk menerima Juru Selamat dan penebus dunia. Pada Natal hari kedua, yakni tanggal 26 Desember 1873, perayaan dibatasi hanya untuk orang-orang Kristen. Disediakan sajian makan bersama. Para raja yang menjadi Kristen turut diundang, begitu juga para pemimpin di bawah raja bersama istri masing-masing. Hari itu ada sekurang-kurangnya 50 orang tamu. Mereka disuguhi makanan yang disiapkan dengan baik. Mereka katakan bahwa masakan yang disediakan pendeta punya rasa yang lain. Mereka merasa sangat dihormati dalam pesta itu oleh pendeta dan terutama oleh Yesus. Ada diantara mereka yang berkata: “Saya berharap untuk bisa kembali merayakan Natal tahun depan.”

Kamis, 30 Maret 2017

Rote Punya Cerita

Judul
:
Rote Punya Cerita, Kisah Injil di Rote 100 Tahun Yang Lalu
Editor
:
Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo
Penerbit
:
Satya Wacana University Press
Tahun Cetak
:
2014
Halaman
:
350
ISBN
:
978-979-8154-87-4
Harga
:
Rp. 100.000
Status
:
Kosong

Hari pertama sekolah dibuka di N’dao. Pak guru tak habis heran dan terkejut. Seluruh penduduk pulau N’dao, besar kecil memenuhi halaman sekolah. Dengan susah payah, pak guru harus menerobos orang-orang yang berkumpul untuk bisa sampai ke papan tulis dan mulai mengajar. “Saya minta agar orang tua dari anak-anak kembali ke rumah masing-masing, karena sekarang pelajaran harus di mulai.”

“Tidak tuan… kemi mau tetap di sini. Bertahun-tahun kami berharap memperoleh seorang guru. Kami sangat merindukan kedatangannya. Guru itu sekarang sudah datang. Kami juga mau belajar.” Pak guru mengambar seekor  rusa di papan tulis. Dan dengan suara nyaring dia berkata: “Ini rusa.” Pak guru berkata dengan agak dongkol: “Orang-orang tua tidak boleh ikut mengeja. Biarkan anak-anak saja yang berbicara.” Sekali lagi guru menunjuk dengan mistar ke arah gambar itu sambil berkata: “Ini rusa.” Semua yang hadir membentuk semacam koor, ramai-ramai berkata: “Ini rusa.”

Ini hanya satu cuplikan cerita. Masih banyak lagi yang akan anda temui dalam buku ini. Kisah-kisah tempo dulu yang menarik dan menggugah.

Rabu, 29 Maret 2017

Traditional Power Structures and Local Governance in East Timor

Judul
:
Traditional Power Structures and Local Governance in East Timor, A Case Study of the Community Empowerment Project (CEP)
Penulis
:
Sofi Ospina dan Tanja Hohe
Penerbit
:
Graduate Institute of Development Studies
Bahasa
:
Inggris
Tahun Cetak
:
2002
Halaman
:
125
ISBN
:
-
Sumber
:
Download
:

The Community Empowerment and Local Governance Project (CEP) was set up under an agreement between the United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) and the World Bank with funding from the multidonour Trust Fund for East Timor. It aimed to provide support for poverty alleviation and to strengthen the capacity of community institutions. Democratic elections for Village Development Councils were to introduce a ‘bottom-up’ method of community empowerment, after years of ‘top-down’ decision-making by the Indonesian government. The councils were to be integrated into the local governance structure at a later point.

In October 2000 the Anthropology Research Team of CEP was established to study the interplay between local Timorese power structures and CEP. Its aim was also to provide a more culturally informed background for the development programme.

The study required an analysis of traditional power systems and their historical development. It examined how far these and related traditional concepts are of relevance for the present local communities and how much they influence governmental and other development programmes. One intention of CEP was to take a ‘bottom-up’ approach to communal empowerment and local governance. To examine the appropriateness and cultural sensitivity of this approach, the study team explored the interplay between local power structures and the system of councils set up by CEP.

It is a challenging task to inquire into and report on power structures and local governance in a time of socio-political turbulence and change in a young nation like East Timor. After such a long period of foreign rule (Portuguese, then Indonesian) and in a stage where a new nation is being formed, many different ideas about power on the local level have appeared. Therefore, summarizing existing ideas has required considerable simplification of the findings. As power concepts at the local level are still very much dominated by traditional ideas, this report has to provide and be read as an introduction to traditional Timorese concepts and ideas. Similarly, as local power structures are often forgotten when considering national issues, our concern here is to emphasise how relevant they continue to be. They are especially important to the Timorese in rural areas, who still make up the majority of the population in the country.

To implement development projects, especially if implemented or influenced by foreigners, a culturally informed background can be of help. This report aims to provide such a background. It does not aim to promote traditional ideas, nor try to give them greater importance on the national level. It aims only to show the richness and complexity of Timorese political concepts and power structures at the local level and to demonstrate how these ideas have survived hundreds of years of outside rule. Nor does it argue for the preservation of traditional values and ideas; how far the Timorese decide to preserve or change their traditional ideas should be determined by the dynamics of the society itself.

Selasa, 28 Maret 2017

Etika dan Moralitas dalam Budaya Sumba

Judul
:
Etika dan Moralitas dalam Budaya Sumba
Penulis
:
Nggodu Tunggul
Editor
:
Umbu Tamu Kalaway (Ketua Tim)
Penerbit
:
Pro Millenio Center & Bappeda Pemkab Sumba Timur
Tahun Cetak
:
2003
Halaman
:
157
ISBN
:
979-98581-0-0
Harga
:
Rp. 75.000
Status
:
Kosong

Di tengah maraknya karya-karya ilmiah populer dan fiksi dalam dunia media cetak yang hingar-bingar dengan nuansa global dewasa ini, kehadiran sebuah ketekunan dan keberanian melahirkan kembali sosok warisan budaya daerah lisan/tutur dalam aksara dan bahasa Indonesia, yang sarat dengan kompleksitas makna tetapi terasa telah tertinggal jauh dari perkembangan dunia yang semakin praktis, adalah kepedualian yang  langkah akan hal ‘menjadi’ (state of being) bagi eksistensi budaya tersebut. Penyusunan Etika dan Moralitas dalam Budaya Sumba (baca: Sumba Timur) bukanlah kelatahan dan kebangkitan optimisme kekuatan ras, etnik dan agama (bahkan fundamentalisme) sejak menjelang berakhirnya abad ke 20, namun lebih merupakan manifestasi tanggung jawab moral untuk mengabadikan sebagian dari identitas manusia Sumba Timur dan menyampaikan kepada dunia, lintas waktu dan ruang, bahkan batas-batas budaya itu sendiri.

Memahami etika dan moralitas Sumba memang tak mungkin lepas dari masalah budaya dan dimensi kesejarahan, yang erat dengan hubungan antara jagad imanen dan transenden. Manusia adalah mahluk historis dan kultural yang mempunyai pengetahuan. Sebagai mahluk historis, manusia bereksistensi dengan “menyejarahkan” dirinya. Sebagai mahluk budaya manusia berkehendak untuk selalu ‘mengenal dirinya sendiri’. Dengan demikian maka praktek kultural dari masa ke masa tak pernah tercerabut dari identitas diri dalam bingkai budaya, atau dari bagaimana cara manusia memaknai diri fan budayanya.

Budaya sumba yang eksis di tengah keberagaman budaya suku-suku bangsa di Indonesia, memiliki dasar-dasar konsep dan sistem nilai yang pasti, yang mendasari setiap perikehidupan sosial kemasyarakatan, dengan tanpa pernah terlepas dari kehendak akan harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan. Keseimbangan selalu diupayakan  bukan hanya antara kehidupan di alam fana dan di alam baka, tetapi juga antara makro kosmos dan miklro kosmos. Maka menjadi wajar bila  etika dan moralitas orang Sumba penuh dengan kompleks tata aturan, baik sosial maupun ritual yang terasa lebih menyudutkan manusia pada determinisme dan statis, ketimbang yang dinamis.


Senin, 27 Maret 2017

Gender Issues in Food And Nutrition Security in NTT Province

Judul
:
Gender Rapid Assessment Report, Gender Issues in Food And Nutrition Security in NTT Province
Penyusun
:
Alfiyah Ashmad, Severine Giroud, Blandina Bait, Hai Ragalawa
Editor
:
Rachel Riviera, Giulia Baldi, Elviyanti Martini
Penerbit
:
World Food Programme Indonesia Country Office
Bahasa
:
Inggris
Tahun Cetak
:
2012
Halaman
:
45
ISBN
:
-
Sumber
:
Download
:

Despite Indonesia’s economic growth and democratic system, gender equality remains a challenging issue. In many parts of the archipelago, women and children are marginalized in their own households. Marginalization is especially detrimental when it comes to food access and has a direct impact on undernutrition rates.

The eastern province of Nusa Tenggara Timur has among the highest rates of undernutrition in Indonesia, with more than a third of children under five years old considered underweight. In addition, up to 58.4 percent of children are stunted. Undernutrition and malnutrition primarily affect children and women.

This Gender Rapid Assessment (GRA) aims to understand the underlying causes of gender marginalization in NTT and how they can be addressed. It represents the first step in developing WFP’s strategy on gender mainstreaming and provides valuable information for the development of the NTT Province Food and Nutrition Action Plan (FNAP), also known as RAD-PG (Rencana Aksi Daerah-Pangan dan Gizi). Improved gender awareness will facilitate the improvement of food and overall nutrition security in NTT.

The report finds that gender inequalities are embedded in the social values and daily life practices of the people of NTT. They mainly derive from misinterpretation of cultural traditions related to dowry and clan inheritance that contribute to women’s subordination to men and the resulting weak decision-making roles women have with regard to food and nutrition issues. As a result, women are especially vulnerable to food insecurity and undernutrition. Even though poverty stands as the major factor causing undernutrition, gender inequality worsens the situation for children and women, especially pregnant and lactating mothers.

NTT women play a critical role in achieving food and nutrition security. Empowering women to make free and informed choices for their family is critical in improving food and nutrition security. By considering women as food holders, women empowerment programmes are tailored to support women in decision- making processes that affect the nutritional wellbeing of the family.

While the Government has initiated interventions addressing gender dimensions related to food security and nutrition, these interventions mainly address the consequences of gender inequality rather than its causes. The absence of gender analyses during programme assessment has resulted in gender gaps and the lack of a comprehensive action plan to adequately confront gender challenges.

WFP, in support of the NTT Government, has itself begun to institutionalize gender mainstreaming within its organization and is working to improve its work team’s perspectives on gender and translate them into action. Fostering gender mainstreaming within WFP and in food and nutrition programmes requires time, energy, creativity and strong engagement from WFP and other development partners. WFP team must, therefore, closely monitor gender mainstreaming implementation both within the organization as well as in key partners in order to ensure its success.

Minggu, 26 Maret 2017

Masterplan Pengembangan dan Pelestarian Cendana Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 - 2030

Judul
:
Masterplan Pengembangan dan Pelestarian Cendana Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 - 2030
Penyusun
:
Kementerian Kehutanan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur
Penerbit
:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Tahun Cetak
:
2011
Halaman
:
58
ISBN
:
-
Sumber
:
Download
:

Sejak dahulu cendana mempunyai peranan penting bagi kejayaan perekonomian Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun demikian, kejayaan cendana tersebut tidak dinikmati secara berkeadilan oleh masyarakat karena mengabaikan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sehingga minat masyarakat untuk menanam dan melestarian cendana masih rendah.

Untuk itu, Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi NTT telah menyusun Masterplan Pengembangan dan Pelestarian Cendana di Provinsi NTT Tahun 2010 - 2030. Diharapkan, masterplan ini menjadi blue print pemerintah provinsi NTT sekaligus menjadi pedoman bagi para pemangku kepentingan dalam mewujudkan kembalinya NTT menjadi provinsi cendana.

Kami menyadari bahwa masterplan pengembangan dan pelestarian cendana ini masih belum sempurna, untuk itu saran dan kritik semua pihak sangat kami harapkan guna perbaikan di masa mendatang. Mari ke depan kita bangun komitmen, kekompakan dan kerjasama untuk sehati sesuara mewujudkan kembalinya NTT menjadi provinsi cendana pada tahun 2030”.

Sabtu, 25 Maret 2017

Buku Saku Warga Negara Indonesia di Timor-Leste

Judul
:
Buku Saku Warga Negara Indonesia di Timor-Leste
Penyusun
:
-
Penerbit
:
Kedutaan Besar Republik Indonesia, Dili Timor-Leste
Tahun Cetak
:
2013
Halaman
:
110
ISBN
:
-
Sumber
:
Download
:

Setelah lebih 10 tahun dibukanya hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor-Leste pada tahun 2002, hubungan dan kerja sama bilateral kedua negara terus meningkat di berbagai bidang. Seiring dengan peningkatan kerja sama tersebut, semakin banyak Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) yang saat ini berdiam, bekerja dan menjalankan profesi, dan memiliki usaha di Timor-Leste. Menurut catatan KBRI – Dili, jumlah WNI yang berdiam di Timor-Leste mencapai lebih dari 6000 orang, sementara badan hukum Indonesia yang memiliki usaha di Timor-Leste mencapai 1049. Jumlah WNI dan BHI yang berdiam dan berada di Timor-Leste diperkirakan akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang.

Salah satu tugas pokok dan fungsi KBRI Dili, sebagaimana menjadi tugas pokok semua Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, adalah memberikan bantuan perlindungan dan dukungan kepada WNI dan BHI agar keberadaan mereka aman, tertib dan sesuai ketentuan perundangan baik di Indonesia maupun di Timor-Leste. Upaya tersebut juga menjadi prioritas kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dan menjadi misi utama KBRI Dili.

Pada hakekatnya WNI maupun BHI di luar negeri, termasuk di Timor-Leste, merupakan duta-duta bangsa yang melalui peranan dan tanggung jawabnya masing-masing memberikan kontribusi tidak hanya untuk memajukan kepentingan nasional Indonesia, tetapi juga bagi peningkatan kerja sama dengan negara, bangsa dan pemerintah di mana mereka tinggal. 

Jumat, 24 Maret 2017

Hari-Hari Terakhir Timor Timur

Judul
:
Hari-Hari Terakhir Timor Timur, Sebuah Kesaksian
Penulis
:
Zacky Anwar Makarim, Glenny Kairupan, Andreas Sugiyanto dan Ibnu Fatah
Penerbit
:
PT. Sportif Media Informasindo
Tahun Cetak
:
2003
Halaman
:
463
ISBN
:
979-97629-0-1
Harga
:
Rp. 150.000
Status
:
Ada

“UNAMET berlaku tidak adil selama penentuan pendapat berlangsung, mereka seharusnya sebagai penyelenggara tetapi akhirnya ikut bermain.” (Prof DR. Sujana Sapi’ie, Ketua Forum Rektor Indonesia – Observer Jejak Pendapat Timtim, Kompas 14 September 1999).

“kalau pada pemilu-pemilu lalu di Indonesia kecurangan-kecurangan dikonstatir oleh para konstestan pemilu, maka pada penentuan pendapat di Timtim kemarin, kecurangan-kecurangan ini justru dilakukan oleh penyelenggara penentuan pendapat. Dalam hal ini oknum-oknum petugas dari UNAMET termasuk dalam hal ini petugas-petugas lokal yang kesemuanya itu jelas dan gambalng merupakan pihak-pihak Pro-Kemerdekaan. Tindakan UNAMET yang hanya menerima staff lokal warga  Pro-Kemerdekaan, tidak membolehkan unsur Indonesia menjadi pengamat proses penentuan pendapat, serta politik uang yang dilakukan warga asing telah menimbulkan kecemburuan yang sangat berpotensi menyulut kerusuhan setelah penentuan pendapat. Tindakan  UNAMET itu menimbulkan keresahan dan kecemburuan sehingga upaya damai semakin jauh. Saya sempat bertemu dengan penduduk yang menerima sejumlah uang dollar untuk mempengaruhi pilihannya.” (Benyamin Mangkoedilaga, Hakim Agung, mantan Anggota Komnas HAM dan Komisi Perdamaian Stabilitas Timtim, Kompas 10 September 1999, 5 Juli 2002).

“Kejahatan sempurna adalah sebuah kejahatan yang membungkus kepentingan sendiri (politik, ekonomi) dengan topeng kepentingan internasional (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Kepentingan internasional atas sebuah teritorial (Timor Timur) dijadikan sebagai komoditas untuk diperjualbelikan dalam pasar politik dalam negeri. Inilah politik komodifikasi territorial yang dilakukan oleh rezim John Howard terhadap Timor Timur (yang dicurigai penuh kecurangan). Kejahatan yang sempurna adalah kejahatan yang disembunyikan dibalik teror, intimidasi, provokasi, disinformasi yang sering dengan sangat halus dilakukan oleh suatu negara besar terhadap sebuah negara berdaulat, atas nama penegakan HAM dan perdamaian.” (Yasraf Amir Piliang, Dosen Pasca Sarjana ITB dan Pemerhati Masalah Sosial, Kompas 12 Oktober 1999).

Pada tanggal 1 Maret 1999 saya kebetulan melihat tayangan televisi Amerika CNN, Questions & Answers (Q & A) Asia yang dikawal wartawan Riz Khan. Dua orang dijadikan narasumber, Jamsheet Marker, Utusan Pribadi PBB di Timtim, dan James Clad dari Georgetown University Amerika Serikat. Ketika dipersoalkan bagaimana nanti hasil pemberian suara rakyat Timtim dalam referendum. Riz Khan mengemukakan keterangan “78 persen memberikan suara ya untuk kemerdekaan: 22 persen menyatakan tidak (artinya integrasi dengan RI). Beberapa bulan kemudian setelah referendum di Timtim dan sekjen PBB Kofi Anan di New York mengumumkan hasilnya, maka di layar CNN saya lihat dia berkata, “78 persen Yes for independence; 22 persen No. “Saya keget. Kok, angka-angkanya persis sama dengan yang dikemukakan Riz Khan bulan maret? Apakah ada rekayasa dalam hal ini? Bila ada siapa yang melakukan? Intel Australia, Amerika, Portugis? Misteri ini akan tetap misteri.” (Rosihan Anwar, Wartawan Senior, Kompas, 4 Maret 2002).   

Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur

Judul
:
Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur
Penulis
:
Hendro Subroto
Penerbit
:
Pustaka Sinar Harapan
Tahun Cetak
:
1997
Halaman
:
250
ISBN
:
979-416-420-8
Harga
:
Rp. 200.000
Status
:
Ada

Di dalam 5 tahun terakhir ini masalah Timor Timur bermunculan di harian-harian di berbagai negara yang umumnya kurang menguntungkan bagi Indonesia. Masalah-masalah yang ditonjolkan secara negatif tersebut menggunakan isu apa saja yang ada saat itu, mulai dari integrasi, operasi militer, demokrasi, hak azasi sampai masalah eksplorasi “ Timor gap” bersama Australia tidak lepas dari pantuan.

Sumber isu-isu negatif tersebut di atas tidak sukar untuk dilacak, karena ternyata negara yang itu-itu saja yang selalu memulai timbulnya dan selanjutnya mengembangkannya, selanjutnya isu-isu itu pada saat ini terlalu menjurus kepada aksi-aksi yang dikoordinasikan secara baik dengan tujuan yang sangat terang untuk dilihat yaitu, meniadakan istilah integrasi dan menggantikan dengan status yang lain dari status Wilayah Timor Timur (Timtim) kini, yang tentunya nanti akan memungkinkan oknum-oknum yang sekarang berdiam di luar negeri yang sebelumnya merupakan pencetus perang saudara pada bulan Agustus – November 1975, dan kemudian menjadi pelaku gerakan anti Indonesia untuk kembali ke Dili sebagai “orang-orang terhormat”.

Buku ini menjadi lebih penting lagi untuk digunakan sebagai sumber pendalaman masalah integrasi, karena generasi ’45 yang berperan saat itu telah diganti oleh generasi berikutnya. Saat-saat proses seperti itu merupakan saat rawan bagi kegiatan disinformasi terkoordir dari pihak-pihak yang menolak keberhasilan proses integrasi.

Kita harus tetap ingat kepada cara indoktrinisasi badan propaganda Jerman Nazi pada tahun-tahun sebelum Perang Dunia II yang mengatakan, “Kalau tembok yang berwarna putih itu secara terus menerus disebutkan  sebagai merah, maka lama-lama orang akan mengakui bahwa tembok itu betul berwarna merah.”

Semoga kehadiran buku ini dapat menjadi sumber yang dapat mencegah timbulnya pendapat rakyat Indonesia yang berbeda atau bertentangan dengan pendapat saat penerimaan integrasi Timor Timur dari perwakilan-perwakilan rakyat daerah itu yang resminya terjadi pada tahun 1976.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...